Pada umumnya disadari bahwa kredit pertanian merupakan salah satu kebutuhan penting bagi mayoritas petani. Kelangkaan kredit pertanian dapat berpengaruh terhadap produktivitas dan pendapatan petani.
Dalam upaya pemerintah untuk meraih swasembada daging tahun 2014, maka perlu meningkatkan populasi sapi dengan mengembangkan Pusat Perbibitan Pedesaan (Village Bredding Center). Salah satu kendala perbibitan ini adalah masalah permodalan bagi peternak. Maka untuk mendukung ini, pemerintah menyediakan Kredit Usaha Perbibitan Sapi (KUPS) yang bertujuan untuk meningkatkan kelahiran sapi sehingga diharapkan pasokan sapi potong bisa lebih banyak diproduksi oleh peternak.
Kenyataan dilapangan terkesan berbeda. Menurut Direktur Perbibitan Ditjen Peternakan walaupun dana KUPS disediakan untuk 4.000 kelompok tani, dengan dana sebesar Rp. 400 juta per kelompok, tidak terserap oleh para peternak. Ternyata penyediaan dana ini hanya direspon sebanyak 400 kelompok dari 10 propinsi.
Tidak terserapnya dana ini ternyata disebabkan sosialisasi dan agunan. Sesuatu yang tidak baru sebenarnya, tetapi yang tidak tuntas diselesaikan.
Kita berharap untuk menyukseskan KUPS ini dapat digarap langsung oleh pihak Per-bank-an, sehingga nantinya mampu mencari, mengarahkan dan mempersiapkan serta menilai nasabah yang layak (eligible) memperoleh kredit.
Apabila peternak dalam penilaian bank sudah layak, maka penilaian inilah yang digunakan sebagai agunan. Kalau Kementerian Pertanian dan Bank bisa mengadakan Nota Kesepahaman yang berisi adanya tenaga pengawal dari Dinas Peternakan yang memberikan keyakinan melalui feasibility bahwa analisa ini dipastikan keberhasilannya, sehingga dapat dijadikan agunan.
Ada lagi yang harus diamankan dari hasil Pusat Perbibitan Pedesaan itu, yaitu Pemda perlu melarang peternak memotong sapi betina produktif. Disadari hal ini memang tidak mudah, karena pada umumnya ternak selain merupakan sumber mata pencaharian, juga merupakan tabungan bagi peternak. Ambil sebagai contoh sederhana. Seorang peternak membutuhkan dana karena anaknya sakit. Harta yang dimilikinya hanya sapi betina produktif. Sehingga meski Pemda melarang pasti peternak akan protes dan bisa berdampak anarkhi. Oleh karen sapi itu miliknya dan merupakan hak mnereka.
Dalam hubungan ini sebagai solusi Kementerian Pertanian merencanakan menunjuk satu BUMN untuk membeli dan menampung sapi betina produktif yang akan dijual pemiliknya, sebagai upaya pencegahan agar tidak dipotong. Upaya pencegahan ini diharapkan didukung oleh Rumah Pemotongan Hewan (RPH), yang dapat segera diinformasikan kepada BUMN bahwa ada sapi betina produktif yang oleh peternak ingin dipotong. Maka BUMN itu segera dapat menyelamatkan sapi betina itu dengan cara dibeli. Sehingga diharapkan tercapai "win win solution". Sapi dapat dicegah dipotong, sedangkan peternak mendapatkan dana untuk keperluannya.
Dengan cara ini diperkirakan akan dapat menyelamatkan 200.000 ekor sapi betina pertahun. Dengan penyelamatan ini maka sapi betina itu akan produktif menghasilkan anakan, maka populasi semakin meningkat dan swasembada-pun berhasil.
Dalam upaya pemerintah untuk meraih swasembada daging tahun 2014, maka perlu meningkatkan populasi sapi dengan mengembangkan Pusat Perbibitan Pedesaan (Village Bredding Center). Salah satu kendala perbibitan ini adalah masalah permodalan bagi peternak. Maka untuk mendukung ini, pemerintah menyediakan Kredit Usaha Perbibitan Sapi (KUPS) yang bertujuan untuk meningkatkan kelahiran sapi sehingga diharapkan pasokan sapi potong bisa lebih banyak diproduksi oleh peternak.
Kenyataan dilapangan terkesan berbeda. Menurut Direktur Perbibitan Ditjen Peternakan walaupun dana KUPS disediakan untuk 4.000 kelompok tani, dengan dana sebesar Rp. 400 juta per kelompok, tidak terserap oleh para peternak. Ternyata penyediaan dana ini hanya direspon sebanyak 400 kelompok dari 10 propinsi.
Tidak terserapnya dana ini ternyata disebabkan sosialisasi dan agunan. Sesuatu yang tidak baru sebenarnya, tetapi yang tidak tuntas diselesaikan.
Kita berharap untuk menyukseskan KUPS ini dapat digarap langsung oleh pihak Per-bank-an, sehingga nantinya mampu mencari, mengarahkan dan mempersiapkan serta menilai nasabah yang layak (eligible) memperoleh kredit.
Apabila peternak dalam penilaian bank sudah layak, maka penilaian inilah yang digunakan sebagai agunan. Kalau Kementerian Pertanian dan Bank bisa mengadakan Nota Kesepahaman yang berisi adanya tenaga pengawal dari Dinas Peternakan yang memberikan keyakinan melalui feasibility bahwa analisa ini dipastikan keberhasilannya, sehingga dapat dijadikan agunan.
Ada lagi yang harus diamankan dari hasil Pusat Perbibitan Pedesaan itu, yaitu Pemda perlu melarang peternak memotong sapi betina produktif. Disadari hal ini memang tidak mudah, karena pada umumnya ternak selain merupakan sumber mata pencaharian, juga merupakan tabungan bagi peternak. Ambil sebagai contoh sederhana. Seorang peternak membutuhkan dana karena anaknya sakit. Harta yang dimilikinya hanya sapi betina produktif. Sehingga meski Pemda melarang pasti peternak akan protes dan bisa berdampak anarkhi. Oleh karen sapi itu miliknya dan merupakan hak mnereka.
Dalam hubungan ini sebagai solusi Kementerian Pertanian merencanakan menunjuk satu BUMN untuk membeli dan menampung sapi betina produktif yang akan dijual pemiliknya, sebagai upaya pencegahan agar tidak dipotong. Upaya pencegahan ini diharapkan didukung oleh Rumah Pemotongan Hewan (RPH), yang dapat segera diinformasikan kepada BUMN bahwa ada sapi betina produktif yang oleh peternak ingin dipotong. Maka BUMN itu segera dapat menyelamatkan sapi betina itu dengan cara dibeli. Sehingga diharapkan tercapai "win win solution". Sapi dapat dicegah dipotong, sedangkan peternak mendapatkan dana untuk keperluannya.
Dengan cara ini diperkirakan akan dapat menyelamatkan 200.000 ekor sapi betina pertahun. Dengan penyelamatan ini maka sapi betina itu akan produktif menghasilkan anakan, maka populasi semakin meningkat dan swasembada-pun berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar