Kamis, 16 September 2010

Sapi Bali Jangan Hanya Bisa GIGIT JARI

Saat bangsa ini tengah berkutat menahan laju penyusutan populasi sapi Bali, Australia justru telah mengembangkan dan mengekspor ternak “milik” Indonesia itu

Sebelum era 1960-an, Indonesia dikenal sebagai pengekspor sapi Bali ke Hongkong dan Singapura. Tetapi sekarang nama besar itu hanya tinggal kenangan, bahkan bisa jadi kenangan itu sudah pudar. Yang ada, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi penduduknya selama 2006, pemerintah Indonesia harus mengimpor tak kurang dari 400 ribu ekor sapi dari Australia. Upaya pemerintah untuk mengembangkan komoditas sapi Bali pun tak kunjung terlihat. Hal ini sungguh menggemaskan. Pasalnya, upaya-upaya mengembangkan sapi Bali ini justru telah dilakukan oleh bangsa lain. Lihat saja Australia, yang telah sesumbar akan siap mengekspor sapi Bali. Dan kita hanya bisa gigit jari.

Sapi Bali memang telah lama dikembangkan di Australia bagian utara,” ujar getir Prof I Ketut Saka, salah seorang guru besar Fakultas Peternakan Universitas Udayana (Unud). Bukan hanya Australia, keunggulan yang dimiliki oleh sapi Bali ini juga telah dilirik oleh Negeri Jiran, Malaysia. Menurut keterangan Dr Sentana Putra, dosen Fakultas Peternakan Unud, Malaysia pernah mengimpor sapi Bali dari NTB yang jumlahnya tak kurang dari 2.000 ekor.

Kala itu, alasan Malaysia mengimpor sapi-sapi tersebut untuk dipekerjakan di perkebunan kelapa sawit. Tetapi apakah di balik itu mereka tidak punya tujuan lain?” ujar Sentana tanpa mampu menyembunyikan rasa curiga. Hal ini juga yang membuat Sentana gusar, “Jangan-jangan yang kita ekspor justru grade terbaik. Jika sudah begini, punahlah plasma nutfah yang kita miliki”. Memang bukan hal yang mustahil jika Malaysia pun berhasrat kuat mengembangkan sapi Bali, mengingat keunggulan sapi Bali yang bersifat dwiguna. “Selain dapat diambil dagingnya, sapi Bali juga pekerja yang baik,” terang Sentana.

Populasi Terus Menurun

Lain yang terjadi di Australia dan Malaysia, lain pula yang terjadi di Indonesia. Jika negara lain berlomba-lomba mengembangkan sapi Bali, Indonesia justru terkesan setengah hati ngopeni kekayaan plasma nutfah ini. Bahkan di tanah asalnya, Bali, sapi Bali ini sudah mulai terancam eksistensinya. Terbukti dengan semakin menurunnya populasi sapi Bali di provinsi tersebut.
Sentana menyebutkan, populasi sapi Bali di pulau Dewata kini tidak lebih dari 615.000 ekor. Dan jumlah tersebut terus menyusut. Karena setidaknya 100.000 ekor sapi Bali tiap tahun diperuntukkan memenuhi kebutuhan konsumsi. Dengan rincian, konsumsi masyarakat Bali mencapai 30.000 ekor/tahun dan sisanya untuk kuota perdagangan antar pulau. “Tiap tahun kita mengirim 75.000 ekor sapi Bali ke Jakarta,” ujar Kepala Dinas Peternakan Provinsi Bali, Ir Ida Bagus Raka.
Pengurangan populasi tersebut jelas tidak seimbang apabila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan sapi Bali yang hanya 3% per-tahun. Menurut Raka, hal ini berdampak pada tingginya tingkat pemotongan sapi betina produktif. “Besarnya mencapai 20%,” ujarnya.

Menggagas Pusat Konservasi

Kondisi tersebut tak urung memicu keprihatinan para akademisi peternakan Unud. Maka bersama Pemerintah Pusat dan Daerah, digagaslah sebuah proyek raksasa mendirikan pusat pengembangan dan konservasi sapi Bali di Pulau Nusa Penida. Dana yang dibutuhkan untuk merealisasikan proyek tersebut juga tak tanggung-tanggung. Menurut Sentana, yang juga sebagai kordinator proyek pengembangan dan konservasi sapi Bali, selama 5 tahun pertama, proyek tersebut menyedot dana sebesar Rp 24 miliar. “Rencananya dana sebesar itu akan ditanggung oleh Pemerintah Pusat sebesar 50%, Pemda Provinsi Bali 25% dan Pemda Kabupaten Klungkung sebesar 25%,” ujar Sentana.

Sentana menjelaskan, tujuan utama didirikannya pusat pengembangan dan konservasi sapi Bali adalah untuk menghasilkan induk-induk sapi Bali yang berkualitas (grade A). “Targetnya menghasilkan induk sapi Bali yang bersertifikat,” ujarnya. Melalui konsep open nucleus breeding, dengan tiga lapisan zona, proyek pengembangan sapi Bali ini digadang mampu mendongkrak populasi hewan ternak kebanggaan Indonesia ini.

Menurut Sentana, lapisan pertama merupakan breeding center di Nusa Penida, yang berfungsi untuk menggali mutu genetik sapi Bali, sampai menemukan kualitas induk yang diinginkan. Lapisan ke-dua, adalah balai-balai milik pemerintah yang ada pada tiap provinsi. Tugasnya menyediakan induk-induk berkualitas hasil dari breeding center asal Nusa Penida. “Sistem ini mampu menjadi barrier, sehingga induk grade A tidak keluar ke masyarakat,” kata Sentana. Sedangkan lapisan ke-tiga adalah breeding center yang ada di desa-desa dan dikelola oleh peternak.

Sebagai timbal baliknya, sapi-sapi Bali potensial yang ada di masyarakat harus kembali (dibeli-red) ke breeding center,” jelasnya. Sentana yakin, proyek tersebut sudah bisa dirasakan dampaknya dalam waktu 5 tahun. “Bahkan nantinya ini akan menjadi cikal bakal pembentukan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah),” ucapnya optimis.

Selain semua itu, lanjut Ketut Saka, pusat pengembangan ini juga bertujuan menurunkan umur potong sapi Bali. Biasanya, untuk menghasilkan sapi Bali dengan bobot 400 kg dibutuhkan waktu tak kurang dari 4 tahun. “Target kita, umur 2,5 tahun sapi Bali sudah memiliki bobot 400 kg dan siap potong,” kata profesor yang ahli daging ini.

Keunggulan Nusa Penida

Alasan utama dipilihnya Pulau Nusa Penida sebagai lokasi pusat pengembangan dan konservasi sapi Bali, karena sapi-sapi Bali yang ada di pulau tersebut memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan sapi Bali yang ada di daratan (pulau Bali).

Meskipun ukuran sapi-sapi Bali yang ada di Pulau Nusa Penida lebih kecil dari sapi-sapi yang ada di daratan, tetapi kualitas dagingnya sudah ada yang mendekati standar internasional. Meat bone ratio (rasio daging-tulang) misalnya, sapi-sapi di Nusa Penida memiliki angka 3,5:1 bahkan ada yang mencapai 3,7:1. “Standar internasionalnya 4,0:1,” ujar Sentana. Begitu juga untuk skor warna lemak, ada yang mencapai nilai 4, dan itu sudah masuk dalam standar internasional.

Yang lebih menggembirakan, sapi-sapi jantan yang lahir dari induk-induk sapi Bali yang ada di Nusa Penida memiliki tingkat pertumbuhan yang baik. Sapi jantan umur 1,5 tahun beratnya sudah mencapai 350 kg. Padahal untuk ukuran tersebut, sangat sulit diperoleh di daratan. “Itu pun pakannya belum di-improve,” terangnya. Alasan lain yang mendukung dipilihnya pulau Nusa Penida sebagai pusat pengembangan dan konservasi sapi Bali adalah lahannya yang kering. Kondisi ini dinilai sangat cocok sebagai habitat sapi Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar